Aku. Aku
pemuja dirinya. Waktuku dan semua dari diriku telah kuberikan untuknya. Dia
sosok berkharisma pengisi hidupku. Ibuku tau, ibu juga bilang kalau dia memang berkharisma
dan baik. Tapi kenapa ibu tak memuja dia?
Suatu hari
aku penasaran dengan Tuhannya ibu. Aku mengintip kegiatannya dengan Tuhan. Aku
tak melihat orang lain, hanya ibuku yang berbicara sendiri. Entah berbicara
dengan siapa tapi ibu menangis. Ibu mengatakan ia ingin keluarganya bahagia.
Ibu tetap
dengan Tuhannya dan aku dengan dia. Suatu hari ibu menasehati agar aku memuja
Tuhannya ibu. Kata ibu, Tuhanlah yang mengatur pertemuan, perpisahan dan
segalanya didunia. Aku marah! Marah semarah marahnya! Tuhan itu yang mana?
Dimana aku menemuinya?
Saat itu
aku membuat ibuku menangis.
Maaf, bu..
Beberapa
hari yang lalu aku bertengkar hebat dengan dia, dia yang kudewakan. Dia yang
kupuja dan kuanggap baik luar biasa itu menyakitiku. Katanya dia tak akan membiarkan
air mata jatuh dari pipiku. Tapi kali ini dia sengaja! Dia tau aku menangis
tapi kemudian dia diam saja.
Dia pergi..
Dia
memunggungiku, dan kami telah berjalan pada aturan dan jalan kami masing
masing.
Aku tak
punya acuan. Aku teringat Tuhannya ib u. aku menemui ibu dan bertanya jika
Tuhan yang mengatur segalanya didunia, jadi aku bisa menyalahkan Tuhan atas
perpisahanku dengannya? Aku bertanya dan ibu hanya tersenyum dan berkata, Tuhan
adalah zat yang maha pengasih. Jika ada kasih maka pasti ada tujuan agar yang
dikasihinya menjadi lebih baik. Kata ibu, perpisahanku dengannya hanya cara
Tuhan melatihku untuk menjadi kuat dan bisa diandalkan.
Lalu dimana
Tuhanmu, bu? Aku ingin meminta maaf dan memujanya. Aku salah. Aku ingin meminta
dia menyembuhkan sakit hatiku ini. Kata ibu, Tuhannya ada di hati tiap manusia
ciptaan Tuhan. Memang tak kasat mata, tapi kehadirannya dapat dirasakan.
Lalu kini
Tuhan, dapatkah Tuhan memberiku pelajaran tanpa menyakitiku?
Lalu apa
wanita yang bersamanya kini jauh lebih dariku?
Tuhan,
hilangkan semua tentang aku dan dia..
Hilangkan,
Tuhan..